Minggu, 04 September 2016

NASIKH DAN MANSUKH
Ditujukan untuk memenuhi tugas makalah Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu
TIKA MARDIYAH,M.Pd.I




Oleh

·      KHAFIDATUZ ZAHRA                              (17210163014)




JURUSAN TADRIS BAHASA INDONESIA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
2016


BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Secara umum Maqasid Al- Tasyri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh mansukh.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik, kita harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al- Qur’an.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1.      Apa pengertian nasikh dan mansukh?
2.      Macam-macam nasikh dan mansukh?
3.      Perbedaan antara Nask dan Takhsish
4.      Perbedaan Pendapat tentang ayat Al-Qur’an yang dipandang nasikh dan mansukh?


C.      Tujuan Penulisan
Adapun makalah ini disusun dengan maksud agar kita bisa lebih memahami Al-Qur’an jauh lebih dalam lagi, dengan mengenal nasikh mansukh yang ada dalam Al-Qur’an, juga diharapkan dapat meningkatkan kemauan kita untuk lebih mengkaji Al-Qur’an.










BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Nasikh Dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah(menghilangkan). Misalnya nasahati syamsu dhal’a artinya, matahari menghilangkan bayang-bayang. Kata nashk juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain. Misalnya: nasahetu kitaba artinya, saya memindahkan (menyalin) apa yang ada dalam buku. Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Dengan perkataan “hukum”, maka tidak termaksud dalam pengertian nashk menghapuskan “kebolehan” yang bersifat asal (al-bara’ah al-asliyah). Dan kata-kata “dengan khitab syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum disebabkan mati atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.[[1]]
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan kepada ayat mawaris atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya, adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh).
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk didalam lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm. Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadz khas, tidak bisa terlepas dari thaksis. Menurut ulama ushul fiqih, thaksis adalah penjelasan sebagian lafadz ‘amm bukan seluruhnya. Atau dengan kata lian, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘amm dengan dalil. [[2]]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan  bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat berikut :
1.    Hukum yang mansuhk adalah hukum syara’.
2.    Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
3.    Khitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan perkara.
Beberapa perkara yang perlu kita ketahui seputar nasikh dan mansukh adalah :
a.    Hukum yang dihapus adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf seperti hukum wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh, adapun yang berhubungan dengan kabar seperti nama dan sifat Allah, kisah-kisah para Nabi, janji dan ancaman dan keutamaan amal maka tidak berlaku nasikh mansukh.
b.    Tidak ada nasakh untuk suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syari’at karena adanya unsur, seperti gila, mati dan lain-lain.
c.    Hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syari’at dan ia mempunyai waktu yang telah ditentukan lalu waktunya telah habis maka tidak disebut nasakh, seperti ayat tentang sholat jum’at.
d.   Dalil yang menasikh (menghapus) wajib datangnya kemudian dari dalil yang dimansukh, dan jika dalil tersebut sebatas mengecualikan keumuman atau mengikat dalil yang mutlak, atau syarat tertentu maka tidak disebut nasakh.
e.    Nasakh tidak berlaku pada maksud-maksud (kaidah) syari’at yang bersifat umum seperti kaidah kesulitan mendatangkan kemudahan dan lain-lain, tidak pula pada hukum amaliyah yang ditunjukkan oleh dalil bahwa ia untuk selama-lamanya seperti hadits yang menyebutkan bahwa hijrah tidak akan terputus sampai taubat terputus.
f.     Nasikh mansukh harus terjadi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, adapun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat maka hukum telah menjadi tetap tidak bisa dihapus oleh ijma’ atau pendapat shahabat, atau qiyas atau ro’yu.
g.    Nasakh harus ada gantinya dengan hukum lain.
Syaikh Muhamad bin Al Amin Asy Syanqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah sesungguhnya perkatan sebagian ahli ushul yang membolehkan nasakh tanpa ada gantinya adalah pendapat yang batil tanpa ragu.  karena ia bertentangan dengan firman Allah Ta’ala :
ู…َุง ู†َู†ْุณَุฎْ ู…ِู†ْ ุขูŠَุฉٍ ุฃَูˆْ ู†ُู†ْุณِู‡َุง ู†َุฃْุชِ ุจِุฎَูŠْุฑٍ ู…ِู†ْู‡َุง ุฃَูˆْ ู…ِุซْู„ِู‡َุง ุฃَู„َู…ْ ุชَุนْู„َู…ْ ุฃَู†َّ ุงู„ู„َّู‡َ ุนَู„َู‰ ูƒُู„ِّ ุดَูŠْุกٍ ู‚َุฏِูŠุฑٌ
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan (hapuskan), atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Al Baqarah : 106)

B.    Macam-macan Nasikh
1.    Macam-macam nasikh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada 2 bagian :
a.    Nasikh yang Mansukh hukumnya, namun lafazhnya tetap.
Inilah jenis Nash Mansukh yang paling banyak yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah : tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.[[3]]
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla

ูŠَุขุฃَูŠُّู‡َุง ุงู„ู†َّุจِูŠُّ ุญَุฑِّุถِ ุงู„ْู…ُุคْู…ِู†ِูŠู†َ ุนَู„َู‰ ุงู„ْู‚ِุชَุงู„ِ ุฅِู† ูŠَูƒُู† ู…ِّู†ูƒُู…ْ ุนِุดْุฑُูˆู†َ ุตَุงุจِุฑُูˆู†َ ูŠَุบْู„ِุจُูˆุง ู…ِุงุฆَุชَูŠْู†ِ ูˆَุฅِู† ูŠَّูƒُู† ู…ِّู†ْูƒُู…ْ ู…ِุงุฆَุฉٌ ูŠَุบْู„ِุจُูˆุง ุฃَู„ْูًุง ู…ِّู†َ ุงู„َّุฐِูŠู†َ ูƒَูَุฑُูˆุง ุจِุฃَู†َّู‡ُู…ْ ู‚َูˆْู…ٌ ู„ุงَ ูŠَูْู‚َู‡ُูˆู†َ

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”. (Al Anfal : 65)
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir.[[4]]
b.    Nasikh yang Mansukh Lafazhnya, namun hukumnya tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa nasikh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah.

C.     Perbedaan Nasakh dengan Takhsis
a.      Nasakh dan takhsis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaanya antara lain, terletak pada fungsinya, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya berfungsi untuk menghususkan sebagian kandungan dari suatu lafadz. Hanya saja, takhsis lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum, sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu.
b.      Adapun perbedaan diantara keduanya adalah: takhsis merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku. (Al-Bukhari : 876)


D.    Pendapat Ulama Mengenai Nasikh Mansukh
Timbulnya sikap ulama menanggapi isu nasikh dan mansukh sebenarnya dalam rangka merespon surat An-Nisa’ ayat 82 ;
Artinya : “kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Berikut sikap pro dan kontra dari para ulama tentang teori Nasikh-mansukh :



1.   Pendukung teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’i (204 H), An Nahas (388 H), As Suyuti (911 H) dan Asy Syukani (1250 H). Dasar teorinasikh-mansukh dalam konteks makna tersebut antara lain : [[5]]
a.       Surat Al-Baqarah ayat 106 :
Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
b.      Surat An-Nahl ayat 101 :
Artinya : " Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui."
c.       Adanya kenyataan bahwa beberap ayat ada yang menunjukkan
gejala kontradiksi. Misalnya dalam penelitian an-Nahas (388 H) terdapat ayat yang berlawanan dengan ayat-ayat yang lain berjumlah 100  ayat, menurutnya realitas yag diteukan tersebut, mengindikasikan adanya ayat-ayat yang di-mansukh. Kemudian jauh sesudahnya As Suyuti (911 H) hanya menemukan 9 ayat saja. Selanjutnya Asy Syukani (1250 H), bahkan hanya menemukan 8 ayat saja yang tidak mampu dikompromikan.

2.   Penolak teori nasikh-mansukh. Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini
adalah antara lain : Abu Muslim Al Ashfahany (322 H), Imam Al Fakhrur Razy-Syafi’i Mazhaban (605H), Muhammad Abduh (1325 H), Sayyid Rasyid Ridla (1354 h), Dr, Taufiq Shidqy dan Ustadz Khudhaybey. Alasan mereka antara lain :

a.       Jika di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang mansukh berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan isinya berarti menetapkan bahwa di dalam al-Quran ada yang batal (yang salah). Padahal Allah telah menerangkan ciri al-Quran antara lain dalam surat Fussilat ayat 42 :
Artinya : “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
b.      Al-Quran adalah syariat yang diabadikan hingga ahir zaman dan menjadi hujjah bagi manusia sepanjang zaman.
c.       Kebanyakan ayat-ayat yang tertuang di dalam al-Quran bersifat kulliyah bukan juz’iy-khas, dan hukum-hukumnya di dalam al-Quran diterangkan secara ijmaly bukan secara khas.
d.      Al-Quran surat al-Baqarah ayat :106 tidak memastikan kepada adanya naskh ayat al-Quran.
e.       Adanya ayat-ayat yang sepintas nmpk kontradiksi, tidak memastikan adanya naskh.
















BAB III
PENUTUP
  Simpulan
 Nasikh yaitu menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian. Sedangkan mansukh yaitu hukum syara’ yang menempati posisi awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
Ada dua pendapat para ulama tentang teori nasikh-mansukh yaitu ada yang mendukung atau setuju dan ada yang menolak atau tidak setuju jika terdapat nasikh dan mansukh didalam al-Quran.
Urgensi mempelajari nasikh dan mansukh adalah  untuk mengetahui proses tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum).


















DAFTAR PUSTAKA

Abdul HA,Djalal,H.Prof.,Dr. 2000. Ulumul Qur’an (Edisi Lengkap)
          Surabaya : Dunia Ilmu
Al-Ihkaami, Fii Ushulil Fiqh, Jakarta: Bulan bintang 2000.
DR. Anwar Rosihon M.Ag, Ulum Al-Quran, Bandung: Pustaka Media, 2008.





























[1] Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Ushulul Fiqih, h. 45
[2] Maman abd djaliel, Ilu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 206
[3] Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[4] Al-Amidi ; dinukil dari Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan, Al-Ihkaam 3/154, h. 170

[5] Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir,(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 104

0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates